Dinsdag 05 Maart 2013

Pidato Presiden dan Wakil Presiden harus dalam bahasa Indonesia baik di dalam maupun di luar negri

Berkaitan dengan tugas Ujian Praktek B.Indonesia kelas XII (Debat) yang akan saya hadapi, saya mengambil tema "Pidato Presiden dan Wakil Presiden harus dalam bahasa Indonesia baik di dalam maupun di luar negri" dalam debat saya pada kamis 21 Februari 2013 mendatang.

Bahasa Indonesia begitu indah, kaya, dan sangat tinggi nilai kesastraannya. Karya-karya yang lahir dengan media bahasa Indonesia, baik artikel, cerpen, novel sangat relevan dengan zamannya. Tinggi nilai sastranya bisa dirasakan melalui novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada zaman penjajahan Belanda tahun 1920-an, hingga zaman sekarang tahun 2000-an dengan terbitnya novel Laskar Pelangi karya Andrea Herata, yang sudah diterjemahkan ke dalam lima bahasa di dunia. Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan media bahasa. Bahasa harus dipahami oleh semua pihak dalam suatu komunitas. Komunitas merupakan penggerak kehidupan. Jadi, tidak mungkin dapat dihilangkan karena manusia merupakan makhluk social yang selalu membutuhkan interaksi/hubungan dengan manusia lain.(Minto Rahayu;2007:5). Pada saat ini, bahasa Indonesia berada dalam fase pembinaan. Bahasa ini masih tetap tumbuh sejalan dengan pertumbuhan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan sebuah bahasa kebudayaan dan bahasa ilmu pengetahuan. Sebagai bahasa kebudayaan berarti bahasa Indonesia dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan sebuah kebudayaan.

Bagaimana permasalahan berbahasa terkait dengan pasal 28 dan Pasal 25 UU No.24 Tahun 2009?

Fungsi bahasa Indonesia sudah tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Pada Bagian Kesatu, Umum, Pasal 25 dinyatakan sebagai berikut.

1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.

2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, dan sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah, bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Bagian kedua dari UU tersebut dikemukakan tentang penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundangan, dokumen resmi negara, dan pidato resmi Presiden/wakil Presiden/pejabat negara yang disampaikan di dalam/di luar negeri. Penggunaan bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, tetapi apabila bertujuan untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing masih diperbolehkan menggunakan bahasa asing.


Tidak seperti peraturan perundang-undangan lainnya yang selalu diikuti sanksi, UU No 24 Th. 2009 tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia. Walaupun demikian, sanksi sosial tentunya akan berdampak pada penutur yang tidak mengindahkan undang-undang tersebut.

Pemakaian bahasa Indonesia dalam situasi resmi, misalnya, pidato resmi pejabat negara merupakan bagian dari sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Oleh karena itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 telah mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya.

Dalam forum resmi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan negara penerima, pejabat negara menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Penyampaian pidato di atas dapat didampingi penerjemah atau diikuti transkrip pidato dalam bahasa Indonesia untuk memperjelas makna yang akan disampaikan.
Permasalahan Berbahasa Terkait dengan Pasal 28 UU No.24 Tahun 2009 Bahasa Indonesia memiliki tiga buah status, yaitu sebagai bahasa nasional, sebagai bahasa persatuan, dan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa nasional artinya bahasa Indonesia adalah lambang kenasionalan bangsa dan negara Indonesia, disamping Lagu Kebangsaan Indonesia dan Bendera Kebangsaan yaitu Sang Saka atau Sang Merah Putih. Sebagai bahasa persatuan, artinya bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang menjadi alat komunikasi verbal antarsuku atau antaretnis yang tersebar luas dari sabang sampai merauke. Kemudian sebagai bahasa negara, artinya bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa yang harus digunakan dalam menjalankan administrasi kenegaraan atau kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional Indonesia. (Abdul Chaer,2011:1). Di dalam pasal 28 UU No.24 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”. Dari bunyi pasal tersebut sangatlah jelas dan terperinci bahwa para pejabat negara di dalam menyampaikan pidatonya wajib menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia.


Di dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, telah disebutkan dengan jelas bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Hal ini dimaksudkan agar seorang pejabat yang notabene sebagai tokoh publik, mampu menjadi panutan banyak orang untuk menghargai dan menjunjung tinggi bahasa nasional, bahasa Indonesia. Pada forum internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, sesuai dengan Pasal 8 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia. Forum resmi tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah negara lain/PBB/organisasi internasional lainnya.

Selanjutnya ditentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya ketika membalas pidato resmi harus menggunakan bahasa Indonesia pada saat menerima pejabat, seperti Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi Internasional, yang melakukan kunjungan resmi ke Indonesia. Penyampaian pidato resmi ini dapat juga disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah. Pidato yang disampaikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya selain dalam kondisi di atas tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, misalnya dalam hal kegiatan pendampingan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, Wakil Kepala Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi internasional pada forum ilmiah, sosial, budaya, ekonomi, dan forum lain sejenis yang penyelenggaranya adalah lembaga akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat sipil. Ketentuan ini hampir sama dengan pengecualian terhadap pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara ketika berada di luar negeri. Untuk forum nasional yang diselenggarakan di dalam negeri, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya juga harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia, misalnya dalam upacara kenegaraan, upacara perayaan 17 Agustus dan hari-hari besar nasional, upacara resmi dalam sidang lembaga-lembaga negara, rapat-rapat pemerintah atau lembaga negara, dan forum nasional lainnya yang menunjang tujuan penggunaan bahasa Indonesia.Sama halnya dengan pidato resmi di luar negeri, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menggunakan bahasa asing, baik dalam forum nasional maupun internasional di dalam negeri, sepanjang untuk memperjelas tentang makna pidato tersebut. Kasus semacam ini sering terjadi dalam gencar-gencarnya pelestarian bahasa nasional dan ini menjadi sebuah potret bangsa kita yang mulai luntur dalam menghayati pentingnya melestarikan sebuah warisan bangsa apalagi itu merupakan suatu identitas nasional yang menjadi dasar terbentuknya sebuah negara. Pejabat atau para politisi juga harus bertanggung jawab atas pemakaian bahasa. Sebab mereka adalah tokoh masyarakat yang perilakunya bisa jadi ditiru oleh masyarakat. Salah seorang pejabat pernah mengatakan tentang kenaikan BBM: ”Keputusan naiknya BBM sudah jelas, tinggal menunggu when-nya”. Pemakaian unsur asing dalam sebuah tuturan langsung secara tidak langsung akan merusak tatanan bahasa Indonesia dan nantinya perkembangan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi semakin terhambat.
Dari pihak penguasa dalam hal ini pihak pemerintah melalui presiden dan pejabat-pejabatnya harus mampu dan wajib menggunakan bahasa Indonesia di dalam setiap pertemuan atau pidato kenegaraan dengan baik dan benar. Baik dalam artian bahasa yang disampaikan harus sopan dan beretika. Dan benar menurut kaidah kebahasaan bahasa Indonesia atau sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

Simpulan Sutan Takdir Alisjahbana Harkristuti Harkrisnowo mengemukakan bahwa (1974) menyatakan bahwa bahasa dan hukum merupakan penjelmaan kehidupan manusia dalam masyarakat yang merupakan sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum dalam hal penggunaan bahasa Indonesia bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya merupakan salah satu wujud dari tingginya nilai kebudaayaan di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional, Komisi Hukum Nasional. Rahayu, Minto. 2007. http://anggara.org/2009/08/12/mencermati-uu-no-24-tahun-2009-tentang- bendera-bahasa-dan-lambang-negara-serta-lagu-kebangsaan/ Kompas 29 September 2009. Diakses Februari 2013 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya. Rahayu, Minto. 2007. Indahnya Berbahasa Indonesia. Jakarta. http://blog.student.uny.ac.id/triwatirahayu/2012/11/29/fungsi-dan-kedudukan-bahasa-indonesia/. http://news.detik.com/read/2011/05/26/124415/1647516/10/pidato-resmi-presiden-dalam-bahasa-indonesia-juga-diatur-keppres
Catatan tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia


Pengaturan mengenai bahasa Indonesia dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mengenai  Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU No. 24/2009) masih terus menyisakan tanda tanya besar dalam benak para praktisi hukum dan kalangan dunia usaha termasuk investor asing. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah bahwa bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaaan merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara.

Selama ini pro dan kontra menyeruak terutama terkait dengan ketentuan yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Undang-Undang ini bersinggungan dengan penyusunan kontrak. Dalam kehidupan sehari-hari penyusunan kontrak banyak ditangani praktisi hukum. Keterkaitan ini menimbulkan implikasi besar terhadap perkembangan dunia kontrak di Indonesia.  

Ketentuan Pasal 31 UU tersebut menyebutkan bahwa:

Ayat (1):
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.

Ayat (2):
Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.

Pasal tersebut secara tegas mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka perjanjian tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

UU No. 24/2009 memang tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Akan tetapi, banyak kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ancaman pembatalan terhadap kontrak-kontrak yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang melibatkan pihak asing dan menggunakan hukum Indonesia sebagai pilihan hukumnya pada saat UU No. 24/2009 ini berlaku.

Sebenarnya bila kita membaca secara seksama bunyi ketentuan pasal tersebut, secara tersirat, menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi juga bisa ditulis dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Akan tetapi jika kita amati lebih lanjut, pihak pembuat Undang-Undang menggunakan frasa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan baik melalui seminar maupun wawancara dengan berbagai media, pihak pembentuk Undang-Undang tampak ingin meredam kekhawatiran yang timbul. Akan tetapi hal tersebut malah semakin menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan. Misalnya interpretasi terhadap kata-kata “wajib” dalam UU No. 24/2009 tersebut yang menurut pembentuk Undang-Undang seharusnya diartikan lebih bersifat anjuran. Padahal, jelas kata “wajib” merujuk pada suatu keharusan.

Puncaknya, beberapa waktu lalu, Menteri Hukum dan HAM (“Menkumham”) mengeluarkan tanggapan terhadap permohonan klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 sebagai tanggapan terhadap permohonan klarifikasi yang diajukan beberapa advokat di Jakarta.

Adapun beberapa poin pernyataan surat Menkumham tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Penandatanganan perjanjian privat komersial dalam bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia tidak melanggar persyaratan kewajiban sebagaimana dimaksud UU No. 24/2009 sehingga perjanjian tersebut tetap sah dan tidak batal demi hukum atau tidak dapat dibatalkan;
  2. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 31 UU tersebut menunggu sampai dikeluarkan Peraturan Presiden;
  3. Kewajiban tersebut tidak berlaku surut sehingga perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum Peraturan Presiden diundangkan tidak perlu disesuaikan atau menyesuaikan penggunaan bahasa Indonesia yang ditentukan di dalam Peraturan Presiden tersebut.
  4. Terkait dengan penggunaan bahasa para pihak pada dasarnya bebas menyatakan bahasa mana yang akan digunakan dalam kontrak dan jika Peraturan Presiden nantinya menetapkan para pihak wajib menggunakan dua bahasa maka para pihak baru akan terikat terhadap kewajiban penggunaan dual bahasa tersebut akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi para pihak untuk memilih bahasa mana yang akan digunakan jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap kata atau kalimat dalam perjanjian tersebut.

Menarik untuk disimak poin-poin tanggapan dari surat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tersebut. Ada beberapa catatan terhadap tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM, yakni:

Poin pertama, perjanjian privat komersial dalam bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia memang semestinya tidak menjadikan perjanjian tersebut secara serta merta menjadi tidak sah. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa nasional pihak asing tersebut membuka peluang para pihak untuk memintakan pembatalan ke pengadilan dengan berbagai alasan. Misalnya pelanggaran terhadap kewajiban dalam ketentuan UU No. 24/2009 atau alasan ketidakmengertian para pihak terhadap isi dari perjanjian dimaksud.

Menarik disimak mengenai “kekreatifan” para advokat dalam mencari dasar dalam memohonkan pembatalan atau memohonkan perjanjian dinyatakan batal demi hukum jika muncul perkara mengenai hal tersebut. Harap dicatat bahwa konsekuensi batal demi hukum dan pembatalan terhadap perjanjian harusnya memiliki akibat hukum yang berbeda.

Poin kedua dan ketiga, terhadap pernyataan bahwa keberlakuan ketentuan Pasal 31 tersebut menunggu sampai dikeluarkannya Peraturan Presiden. Hal tersebut kurang tepat sebab Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebutkan bahwa peraturan perundangan-undangan mulai berlaku dan memiliki kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan sehingga UU No. 24/2009 seharusnya sudah berlaku pada tanggal 9 Juli 2009  sehingga terhadap perjanjian yang dibuat pada tanggal 9 Juli 2009 dan sesudahnya wajib menggunakan bahasa Indonesia dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka selain wajib menggunakan bahasa Indonesia juga ditulis menggunakan bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris .

Mengenai bunyi ketentuan Pasal 40 UU No. 24/2009 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang penggunaan bahasa Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden, ketentuan ini seharusnya diinterpretasikan bahwa Peraturan Presiden hanya akan mengatur detail penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian akan tetapi bukan berarti penangguhan berlakunya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian tersebut.

Poin keempat, terhadap kebebasan memilih bahasa  mana yang berlaku jika terdapat sengketa, terlepas dari pengakuan terhadap asas kebebasan berkontrak, seharusnya hal tersebut tidak dapat dilakukan. Sebab, esensi dari ketentuan pengaturan mengenai bahasa dalam UU No. 24/2009 ini adalah kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Sehingga sudah seharusnya pilihan bahasa tersebut tidak dapat dilakukan terhadap kontrak yang dibuat di Indonesia dan memilih penyelesaian hukum di pengadilan Indonesia jika terjadi sengketa. Jika pilihan bahasa itu dapat dilakukan maka esensi dari ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia menjadi sia-sia (lihat analisis di atas).

Kekuatan Mengikat Surat Menkumham
Ketentuan Keputusan Presiden No. 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Keppres No. 35 Tahun 2004 (“Keppres No.35/2004”) salah satunya mengatur mengenai tugas, wewenang dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (sekarang Departemen Hukum dan Ham).

Namun tidak ada satu pun kewenangan yang secara tegas menyebutkan bahwa Departemen Hukum dan HAM dapat memberikan interprestasi terhadap ketentuan Undang-Undang  sehingga Surat Menkumham tersebut hanya akan dapat dipakai sebagai acuan para pihak yang berkepentingan saja dan tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia tersebut.

Peran aktif Mahkamah Agung
Indonesia sebenarnya menganut konsep Trias Politica dimana terlihat dengan adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang) dan yudikatif(mengadili atas pelanggaran undang-undang).

Lembaga yudikatif (dalam hal ini Mahkamah Agung dan badan peradilan) memiliki kewenangan memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta atau tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain. Mahkamah Agung juga berwenang memberikan petunjuk kepada Pengadilan terkait kewenangan yang dimiliki Pengadilan dalam pemberian keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang hukum kepada Lembaga Negara lainnya bila diminta. Memang tidak disebutkan secara tegas mengenai apakah para pihak dalam perjanjian ataupun advokat dapat meminta fatwa terkait dengan interpretasi kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini, akan tetapi patut dicoba karena fatwa atau SEMA akan lebih efektif mengikat para hakim dalam memutus perkara. Tercatat bahwa pada tanggal 21 April 2004, MA pernah mengeluarkan fatwa atas permohonan seorang advokat (Henry Yosodiningrat) terkait dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 151 Tahun 2000 khususnya mengenai salah satu syarat bakal calon Kepala Daerah/wakilnya terkait penafsiran “tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana”. Meskipun hal ini masih mungkin diperdebatkan terkait dengan pemohon dan kewenangan MA menginterpretasikan ketentuan undang-undang bukan materi peraturan yang berada di bawah UU.

MA juga dituntut untuk proaktif mengeluarkan produk hukum baik berupa SEMA atau fatwa untuk meredam keresahan dan ketidakseragaman interpretasi terhadap ketentuan penggunaan bahasa Indonesia dalam UU No. 24/2009 tersebut

Maandag 04 Maart 2013

cara membuat blog gratis

Cara Membuat Blog
ada dua layanan blogging yang telah diakui kehebatannya oleh para blogger di seluruh dunia. Yaitu Blogspot (blogger.com; sebuah layanan yang dimiliki oleh google) dan WordPress.com. Namun karena judul artikel ini adalah cara membuat blog di blogspot, jadi artikel kali ini akan membahas blogspot saja. Bagi kamu yang ingin membaca panduan wordpress silahkan baca di sini.
Untuk selanjutnya silahkan ikuti langkah-langkah cara membuat blog lengkap di berikut ini :
1. Untuk memulai mendaftar blog di blogspot silahkan kunjungi alamat situs  www.blogger.com, setelah itu cari tombol Sign up (daftar) yang ada di pojok kanan atas, seperti gambar di bawah ini






















 2. Setelah tombol sign up diklik, nanti akan muncul aplikasi pendaftaran pembuatan akun gooogle, seperti gambar di bawah ini. Silahkan lengkapi aplikasi tersebut. Gambar di bawah ini merupakan contoh pengisiannya.
Penjelasan pengisian : pada bagian Name, Isi nama  depan dan nama belakang kamu.
Pada Choose your username,  isi sesuai dengan keinginanmu, username ini nantinya berfungsi sebagai email login untuk akses ke dashboard blogspot kamu dan bisa juga untuk login ke Gmail. (jika username tidak tersedia, tambahka angka atau huruf di belakangnya),
Pada Create a Password, isi password kamu (gunakan yang mudah diingat), pada Confirm your password silahkan isi dengan password yang sama dengan password pada kolom pada create a possword tadi.
Pada birth day isi tanggal lahir kamu.  Pada Phone, isi dengan nomor ponsel kamu, untuk Curent your email, dikosongkan saja.  Pada type the two pieces of text, ketikan dua buah teks kode yang ada di atasnya.  Selanjutnya beri tanda centang pada dua kotak kecil di bawahnya, dan yang terakhir Klik pada tombol Next step.


















































3. Setelah kamu klik pada tombol next, akan ditampilkan perintah verifikasi akun, silahkan masukan nomor ponsel kamu. Kemudian klik tombool Send Verifikation Code. Nanti kamu akan mendapat sms dari google yang berisi  kode aktifasi.






















4.  SMS kode verifikasi dari google ke ponsel kamu akan tampak seperti gambar di bawah ini.

5.  Masukkan kode verikasi sms di atas pada kolom yang tampil, seperti gambar di bawah ini. kemudian klik tombol Verify


6.  Jika langkah sebelumnya berhasil, kamu akan menjumpai halaman seperti gambar di bawah ini. Untuk menambahkan foto silahkan klik add profile photo,  jika ingin langsung ke langkah selanjutnya silahkan klik tombol Next Step.
 


















7.   Selanjutnya akan tampil halaman seperti gambar di bawah ini. Ini merupakan tanda bahwa kamu telah memiliki sebuah akun google  berupa alamat email yang bisa digunakan untuk login ke Gmail.com dan blogger.com, selanjutnya silahkan klik tombol Back to blogger.